Sunday 1 July 2018

2015: Trip to Myanmar





I can’t quite put into words how Myanmar made me feel but I’ll do my best to try.

Berkabut dan berdebu, begitu aku keluar dari bandara internasional Yangon. Bertiga di atas taksi yang mengantar kami ke rumah Yam, sang supir mencoba membuka percakapan. Mulanya aku dan Anid mengira pria muda berkulit sawo matang ini tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali.

‘Where are you from?’, melalui kaca depan mobil ia melirik ke bangku belakang. Aku dan Anid saling berpadangan, mau jawab atau tidak?

‘Indonesia’, jawabku singkat. Bukannya malas untuk menjawab, tapi setelah perjalanan yang lumayan jauh bahkan sebelum dari KL sesampainya di Myanmar, aku merasa masih harus menyimpan energi untuk berbasa-basi panjang lebar untuk dipakai nanti semasa bersua dengan keluarga Yam yang menjadi host kami selama berada di kota ini. Atau mungkin juga aku sedikit parno dengan sang supir, never talk or be close to stranger.

Percakapan berlanjut lebih lama dari yang kami sangka. Dengan bahasa Inggris yang sedikit terbata, di sepanjang perjalanan sang supir bertanya banyak mengenai asal negaraku dan Anid, membahas mengenai Bali, pemerintahan Myanmar, makanan khas negara ini. Terkadang aku yang bertanya, seperti pertanyaan konyol mengenai alasan mengapa lelaki Myanmar selalu mengenakan sarung untuk pakaian bawahan mereka sehari-hari di tempat umum.


Setelah nyasar sekitar 15 menit, bertanya sana sini, sampailah kami di depan rumah Yam. Malam itu sudah menunjukkan pukul 22:00 waktu Myanmar. Kami disambut dengan hangat oleh nenek, tante dan adik lelaki Yam yang kemudian menyuguhi kami makanan khas Pakistan sebelum kemudian tidur, beristirahat sebelum melanjutkan adventure baru lagi keesokan harinya.








No comments: